My Life is Dream : BAB II ( New Dream and New Hope )

Posted By Dewa Wijaya on Monday, February 25, 2013 | 7:53 AM


*6 hari Kemudian*   
/Airtport Ngurah Rai/

Hawa tropis sungguh terasa. Kampung halaman yang tak dapat terlupakan. Rawa membentang dikelilingi pohon

mangrove yang sejuk. Aku berjalan keluar menuju areal parkir. Di balik pohon, terlihat sosok yang tak asing bagiku.

"Bapaak....!"teriakku dengan kencang.

Sebutan ayahku lebih akrab dipanggil Bapak. 3 tahun tak berjumpa serasa terbalas dengan pelukan hangat sang Ayah.

Sakit dan perih sedikit terobati walau belum pulih sepenuhnya. Tiba saatnya menjalani hidup baru yang penuh


dengan aliran nada. Kami bergandengan tangan, menuju rumah yang kecil namun indah. Mobil Jeep putih yang

dikendarai ayah, tak diganti selama belasan tahun lamanya. Disepanjang jalan, pandangan mataku nampak luas tanpa

halangan membentang. Setiap sudut dipenuhi sawah nan elok. Aku bersyukur, ditengah zaman yang sesulit ini, rakyat

Bali masih menjaga kenampakan alam dan kebudayaan yang paling kucintai. Aku jadi ingat, semasa aku sekolah dulu,

Musik tradisional Bali adalah kegemaranku. Bersama sahabatku bermain musik bersama, menari, dan bernyanyi riang.

Teman, tunggulah aku. Kita akan bersama kembali. Aku yakin itu. Matahari perlahan berwarna oranye kemerah-
merahan.

Perjalanan selama beberapa jam telah aku lewati. Inilah rumahku. Yang tak berubah selama belasan tahun lamanya.

Kakiku perlahan menampaki pintu gerbang. Pandanganku menoleh kanan dan kiri. Mengenang alunan cinta yang aku

rajut puluhan tahun dirumah ini. Pandanganku tiba-tiba tertuju pada satu arah. Seseorang berteriak memanggil namaku.

Aku sudah bisa menebak hal itu. Ialah Ibuku. Walau sudah tua, namun memiliki gairah anak muda. Aku mempercepat

langkah kakiku. Menampilkan wajah berseri kepada sang Bunda tercinta. Kebahagian menyelimuti keluargaku. Semoga

kelak aku bisa membahagiakan mereka, lebih dari yang terjadi saat ini.

*Keesokan harinya*
 Alunan syahdu burung gereja membangunkan tidurku yang lelap.

Setidaknya, aku masih mempunyai hari libur dalam waktu beberapa hari kedepan. Aku merasa kebingungan harus mulai

dari mana untuk menemukan para sahabatku. Aku jadi ingat, salah satu temanku bertempat tinggal tak jauh dari rumahku.

"Hmm, semoga kau masih tinggal disana"pikirku dalam hati.

Pagi menjelang siang hari, aku bergegas menemuinya. Dengan mantel bulu, kulitku takkan terbakar terkena cahaya sang

mentari. Sepeda motorku berjalan pelan mengitari jalanan aspal yang dikelilingi pohon mangga. Hawa panas tak

menyurutkan semangatku. Ini adalah target pertama yang kucari dari sepuluh teman terbaikku. Sekitar 15 menit

kemudian, aku melihat bangunan yang begitu asing bagiku. Aku tak ingat kalau ada menara di daerah sini. Pohon-pohon

rindang tak terlihat satupun dalam pandanganku. Tempat ini sungguh berbeda dari yang kubayangkan. Bahkan, jalanan yang

dulunya sempit, kini begitu luas penuh dengan kendaraan mewah. Aku menoleh kanan dan kiri, tak satupun tempat yang aku kenali.

"Oh My God, apa yang harus kulakukan"pikirku

Aku berhenti tepat di depan Supermarket. Seingatku, dulu di daerah ini hanya ada minimarket dan kios-kios kecil. Sungguh

pesat perkembang tempat ini dalam beberapa tahun terakhir. Aku mencoba bertanya pada satpam di Supermarket itu.

"Permisi pak, ini daerah Abianbase kan?"tanyaku.

"Betul nak, ada apa ya?"tanya satpam.

"Apa bapak tau, keluarga pendeta yang bertempat tinggal

didaerah sini?"tanyaku dengan penasaran.

"Wah, kalau pendeta disini ada banyak!"jawab satpam sambil

mengusap hidungnya.

"Duh, aku lupa nama ayahnya!"pikirku dalam hati.

"Hmm, kalau anak yang bernama Riza bapak kenal?" tanyaku.

"Sepertinya pernah dengar, tapi aku tak kenal dengannya,

bahkan wajahnya saja aku tidak tahu!" jawabnya tanpa

berekspresi

"Baiklah, terima kasih informasinya pak, saya permisi

dulu!"kataku dengan lembut.

Aku begitu bingung harus kemana lagi. Jika aku mengunjungi

setiap rumah dan menanyakan namanya satu per satu akan membutuhkan waktu lama.

"Oh, kenapa tak terpikir dari tadi" pikirku dalam hati.

Secepat kilat aku tancap gas menuju ke gereja yang berada kurang lebih 100 meter dari tempat kuberada.

"Mudah-mudahan Riza melakukan kebaktian hari ini"pikirku

Kerumunan orang-orang menyulitkan pandanganku. Sudah sepuluh tahun tak melihatnya, semoga aku masih mengingat wajahnya.

Aku menoleh sana menoleh sini tak satupun wajah yang mirip dengan Riza. Namun, aku melihat sosok yang begitu familiar

dimataku. Paras wajah Belanda dan Indonesia bercampur menjadi satu.

"Tak salah lagi, itu Ibunya Riza!"pikirku

Aku menunggu dan terus menunggu. Akhirnya, tak beberapa lama kemudian Ibunya Riza keluar dari gereja. Aku bergegas menghampirinya.

"Ibu Riza...!" Teriakku dari belakang.

Dia menoleh dengan ekspresi hampa.

"Ibu, masih ingat dengan saya?"tanyaku dengan lembut.

"Koming ya? hei, lama tak jumpa"kata Ibu Riza.

"Iya Bu, Rizanya ada?"tanyaku

"Hmm, sebenarnya kamu ada perlu apa datang kesini?"tanya Ibu Riza

"Aku ingin menemui Riza Bu, Rizanya ada tidak?" tanyaku

dengan penasaran

Ibu Riza menarik tanganku, dan mempersilahkan aku duduk di

kursi taman dekat gereja.

"Sebenarnya, Riza sudah lama kabur dari rumah" kata Ibunya

dengan sedihnya.

"Apa!! ada masalah apa Bu?" tanyaku dengan terkejut.

"Dia kabur, karena dia menolak permintaan ayahnya untuk

menjadi pendeta!"jawab Ibu Riza.

"Lalu, Ibu tak tahu keberadaan Riza sekarang?"tanyaku.

Dia hanya menggelengkan kepala, meratapi nasibnya saat ini.

Aku turut prihatin dengan keadaan keluarga Riza.

Pikiranku tak henti bertanya-tanya, "Seingatku, dulu Riza

ingin menjadi pendeta, tapi kenapa sekarang dia begitu keras

menolaknya"

"Bu, semoga Riza cepat kembali ya, aku juga akan berusaha

mencari keberadaannya, jadi Ibu jangan sedih lagi"kataku

dengan lebut.

Air mata Ibu Riza menetes, aku yakin dia sedang merindukan Riza. Anak yang iya kandung selama 9 bulan, dan dirawat
selama puluhan tahun dengan penuh kasih sayang.

"Ibu, apakah Bapak baik-baik saja?" tanyaku

"Entahlah, selama beberapa tahun terakhir dia enggan membuka

mulutnya" Kata Ibu Riza sambil mengusap air matanya dengan

sapu tangan.

"Aku turut prihatin Bu, aku akan selalu berdoa untuk

kesehatan keluarga Ibu, apa Ibu ingat kenangan kita bersama

dulu, tertawa bersama dan belajar bersama?" air mataku

menetes perlahan.

"Iya, itu saat yang paling indah dalam hidup Ibu!" jawab Ibu

Riza dengan senyuman.

"Ya sudah, jaga diri Ibu baik-baik, aku akan berusaha

mencari keberadaan Riza!" kataku dengan bersemangat.

Mendengar akan hal itu, aku menunda mencari keberadaan para sahabatku. Aku mulai berpikir, rasa perih dicampakkan seorang wanita bukanlah yang terburuk dalam hidup ini. Melainkan, rasa sedih kehilangan kebahagian seseorang yang kita cintai jauh lebih sakit.

/Catatan perjalanan hari ini/
Bagiku, Impian itu bukan hanya material semata. Tapi, impian
 itu adalah cinta dan kasih. Saat ini, impian itu datang
 tiba-tiba. Hanya menemui mereka akan terasa janggal. Namun,
 jika kita membahagiakan mereka kurasa itu sangat mulia.
Blog, Updated at: 7:53 AM

2 komentar:

1 Komentar anda sangat berarti bagi kami. Karena komentar andalah yang menjadi semangat bagi kami.

Anda bebas berkomentar, asal jangan mencantumkan link hidup pada komentar. Bagi yang mencantumkan link hidup pada komentar, dengan berat hati komentar anda akan segera kami hapus.